Banyak orang percaya bahwa jodoh adalah urusan Tuhan. Pandangan ini muncul di hampir semua tradisi religius. Dalam Islam, konsep qada dan qadar menunjukkan bahwa jodoh bisa termasuk takdir tetap (mubram) atau takdir yang bisa berubah lewat doa dan usaha (muallaq) [1]. Dengan kata lain, meskipun Tuhan telah menulis kemungkinan jodoh, manusia tetap bisa berikhtiar untuk membentuk jalannya.
Dalam tradisi Kristen, terdapat konsep divine providence, yaitu keyakinan bahwa Tuhan membimbing kehidupan manusia, tetapi tetap memberi kebebasan untuk memilih [2]. Hal yang sama juga ditemukan dalam ajaran Hindu-Buddha, di mana jodoh dipahami sebagai buah dari karma, yang mungkin terbentuk dari kehidupan sebelumnya atau tindakan di masa kini [3].
Determinisme dan Kebebasan Memilih
Jika kita lihat dari sisi filsafat, masalah jodoh sering dikaitkan dengan pertanyaan klasik: apakah hidup manusia sepenuhnya ditentukan atau kita benar-benar memiliki pilihan? Pandangan deterministik berargumen bahwa segala hal, termasuk siapa pasangan hidup seseorang, sudah ditentukan oleh sebab-akibat yang tidak bisa dihindari [4]. Sebaliknya, libertarianisme menekankan bahwa manusia memiliki kehendak bebas (free will) yang memungkinkan kita membuat pilihan nyata, termasuk soal jodoh [5].
Penelitian menunjukkan bahwa orang yang percaya jodoh sebagai takdir awalnya lebih cepat merasakan kepuasan dalam hubungan, namun rasa puas itu cenderung menurun seiring waktu. Sebaliknya, mereka yang percaya hubungan dapat tumbuh melalui usaha bersama (growth beliefs) cenderung memiliki hubungan yang lebih stabil dan memuaskan [6][7].
Perspektif Psikologis: Keyakinan, Doa, dan Hubungan yang Sehat
Dari sisi psikologis, cara seseorang memaknai hubungan sangat berpengaruh terhadap kualitas relasi. Misalnya, jika pasangan menganggap pernikahan atau hubungan mereka sebagai sesuatu yang sakral (sanctification of marriage), mereka cenderung saling mendukung dan lebih tahan menghadapi konflik [8].
Selain itu, praktik coping religius—seperti doa, reframing spiritual, dan kolaborasi dengan Tuhan dalam menghadapi masalah—ternyata membantu memperkuat hubungan. Pendekatan ini bukan pasif; individu tetap berusaha, namun mereka merasa Tuhan hadir mendampingi proses penyelesaian masalah [9].
Dengan kata lain, keyakinan spiritual dalam jodoh tidak membuat seseorang menyerah pada keadaan. Sebaliknya, itu dapat menjadi motivasi untuk memperbaiki diri, berkomunikasi lebih baik dengan pasangan, dan membangun hubungan yang sehat serta penuh makna.
Kesimpulan
Dari tinjauan teologis, filsafat, dan psikologi, beberapa hal menjadi jelas:
- Teologis: Tuhan memberikan arahan dan bimbingan, tapi manusia tetap harus berikhtiar.
- Filsafati: Kebebasan memilih tidak selalu bertentangan dengan konsep takdir; kita tetap bisa merasa bebas dan bertanggung jawab atas pilihan.
- Psikologis: Keyakinan spiritual dan usaha nyata berjalan bersama-sama untuk memperkuat kualitas hubungan.
Maka, memandang jodoh sebagai takdir Tuhan seharusnya tidak membuat seseorang pasif. Sebaliknya, hal itu bisa menjadi motivasi untuk bertumbuh, berdoa, dan membangun relasi yang sehat serta penuh makna.
Referensi
[1] H. Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, UI Press, 1995.
[2] T. Fitzgerald & C. Morgan, "Free Will and Divine Providence in Christian Theology," Theological Studies Review.
[3] R. C. Zaehner, Hinduism, Oxford University Press, 1993.
[4] D. Hume, "Compatibilism and Free Will," Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2013.
[5] R. Kane, A Contemporary Introduction to Free Will, Oxford University Press, 2005.
[6] F. Gander et al., "Relationship beliefs in predicting satisfaction," Journal of Social Psychology, 2025.
[7] P. L. Gooding et al., "Free Will and Subjective Well-Being," Frontiers in Psychology, 2018.
[8] A. Mahoney & K. I. Pargament, "Positive Psychology and Religiousness," 2021.
