Berawal dari sebuah pertanyaan sederhana, Bagaimana jika Hidupmu Tak Sesuai Rencana?
Setiap orang pasti pernah merasa kecewa pada dirinya sendiri. Kadang, kekecewaan itu muncul hanya karena hal yang sepele, saat kita membayangkan atau berimajinasi tentang jalan hidup yang sedang kita jalani. Ada cerita seseorang yang mempertanyakan tujuan dan makna hidupnya. Apakah ia menemukan jawabannya? Tidak.
Lalu, apakah semua itu adalah takdir yang harus diterima sepenuhnya, atau masih ada ruang bagi dia untuk menemukan identitas yang lebih bebas dan bermakna?
Dalam filsafat, dikenal konsep determinisme, yaitu pandangan bahwa segala sesuatu di dunia ini sudah ditentukan melalui sebab dan akibat. Dalam agama, khususnya Islam, hal ini dikenal sebagai qada' dan qadar, bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah ketetapan-Nya. Namun uniknya, agama juga mengajarkan bahwa manusia diberi kebebasan untuk berusaha, berdoa, dan memilih jalan terbaik dalam hidupnya [1][2].
Lalu, bagaimana dengan orang tadi yang bertanya:
- Apakah aku bisa menerima nasib ini?
- Apakah hidupku memiliki arti meski aku berbeda?
Menurut filsafat eksistensialisme, makna hidup tidak datang dengan sendirinya, justru manusia-lah yang menciptakannya[3]. Bahkan dengan segala keterbatasan fisik atau kondisi, setiap orang memiliki kesempatan untuk memberi warna baru dalam kisah hidupnya.
Dari sudut pandang lain, konsep "takdir" bisa terasa seperti beban yang mengekang bagi sebagian orang. Namun, kita bisa melihatnya dari perspektif yang berbeda, bagaikan cermin yang memantulkan bayangan kita, tapi hanya kita sendiri yang bisa menafsirkan apa arti bayangan itu. Hidup bukan sekadar dijalani, tetapi juga dijadikan proses belajar untuk sabar, ikhlas, dan bersyukur [4]. Dari situ, keterbatasan bukan lagi halangan, melainkan sumber empati dan inspirasi. Melalui pengalaman-pengalaman itu, kita menemukan kekuatan dalam kisah hidup orang lain.
Intinya, "takdir memang sudah ada, tetapi maknanya ada di tangan kita."
Kesimpulan
Takdir tidak bisa diubah, tetapi cara kita meresponsnya adalah ruang kebebasan manusia. Identitas bukan hanya soal fisik, melainkan juga bagaimana kita merangkai makna dari setiap pengalaman hidup.
Referensi
[1] "Muhammad Nasir, Determinisme Teologi Islam dalam Pola Gerak Sejarah Indonesia," Jurnal Hamzanwadi, 2023 https://e-journal.hamzanwadi.ac.id/index.php/fhs/article/download/24973/5831/175775
[2] "Mengenal Qada dan Qadar," Fakultas Agama Islam UMSU, 2023https://fai.umsu.ac.id/mengenal-qada-dan-qadar/
[3] "Makna Hidup Eksistensialisme," materi kuliah Universitas Pendidikan Indonesia, 2023 https://dosen.upi-yai.ac.id/v5/dokumen/materi/020040/76_20231127005030_Kelompok%209%20-%20PPT%20Gerakan%20Mazhab%20Ketiga.27NOVEMBER%202023.pdf
[4] "Nilai-Nilai Eksistensialisme dalam Naskah Drama C4," Jurnal Unisma, 2023 https://jim.unisma.ac.id/index.php/jp3/article/viewFile/25854/19745
