Kita yang Tenggelam dalam Frekuensi Kehadiran
2025-11-13psychology

Kita yang Tenggelam dalam Frekuensi Kehadiran

Ditulis oleh, Galuh Kurnia ✦

Sebuah refleksi tentang bagaimana notifikasi digital mempengaruhi kesadaran, makna diri, dan keseimbangan mental manusia modern.

#psychology#technology#philosophy

Pernahkah kamu merasa gelisah saat ponselmu diam terlalu lama?
Seolah ada kekosongan kecil di dada, sampai akhirnya. bunyi itu datang: “ting!” Sekilas, hanya notifikasi. Tapi di baliknya, mungkin tersembunyi sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pesan digital.

Gambar Notifikasi (Sumber gambar: Suara.com, “Cara Mengubah Suara Notifikasi di Android”, 11 Mei 2020.)

Bunyi yang Kita Tunggu

Kita hidup di masa ketika notifikasi menjadi denyut nadi kehidupan sosial. Setiap getar dan suara kecil menghadirkan sensasi reward dalam otak, memicu pelepasan dopamin, zat yang sama aktifnya ketika seseorang mendapat pujian, makan manis, atau menang atas sesuatu.Menurut Fitri dkk. (2024), kemudahan mengakses media sosial membuat remaja Indonesia menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari demi mencari kepuasan psikologis dan rasa “tidak ketinggalan informasi”. Kebiasaan ini perlahan berubah menjadi pola addiction, di mana keheningan justru terasa asing dan menakutkan.

Ekspektasi yang Tak Pernah Usai

Menunggu notifikasi bukan lagi soal pesan yang datang, tapi soal validasi eksistensi. Seolah bunyi “ting!” adalah bukti bahwa kita masih diperhatikan, masih diingat, masih ada. Rasa khawatir akan kehilangan momen digital, yang dikenal dengan istilah Fear of Missing Out (FoMO) yang mendorong individu untuk terus memeriksa ponselnya tanpa sadar. Hal ini menciptakan kondisi psikologis di mana manusia modern terperangkap dalam loop antara penantian dan kepuasan sementara.

Penelitian Siburian & Ricky (2024) bahkan menunjukkan bahwa perilaku kecanduan media sosial memiliki hubungan dengan kesehatan mental remaja, meskipun dalam tingkat yang lemah namun signifikan.Mereka menemukan bahwa sebagian besar remaja mengalami kesehatan mental yang tidak stabil (kategori abnormal), sementara hampir 40% berada pada tingkat kecanduan media sosial menengah hingga tinggi.

Antara Otak dan Algoritma

Desain teknologi modern tidak netral.Platform digital dirancang agar pengguna tetap menunggu dan berharap.Dari warna merah ikon pesan, bunyi lembut notifikasi, hingga waktu munculnya yang acak, semuanya adalah bentuk “variable reward”, teknik yang memanfaatkan sistem dopamin manusia untuk menciptakan ketergantungan psikologis.Kita jadi seperti Pavlov modern, yang air liurnya menetes bukan karena lonceng, tapi karena notifikasi.

Dalam konteks ini, kecanduan digital tidak semata karena lemahnya kendali diri, melainkan hasil dari rekayasa desain emosional.Fitri dkk. (2024) menyebutkan bahwa individu sering kali merasa “kosong” atau “gelisah” saat tidak berinteraksi di media sosial, gejala yang identik dengan kehilangan stimulus dopamin dari interaksi digital.

Eksistensi yang Tergantung Bunyi

Bunyi notifikasi telah menjadi simbol kehadiran digital. Kita merasa eksis ketika seseorang membalas pesan, menyukai unggahan, atau menonton cerita kita.Namun, di sisi lain, saat layar diam kita seperti kehilangan cermin yang merefleksikan diri.Fenomena ini sejalan dengan konsep eksistensialisme modern, manusia mencari makna dalam dunia yang serba absurd dan cepat.Hanya saja, kini absurditas itu hadir dalam bentuk keheningan layar. Kita tak lagi merenung di tengah malam, melainkan menggulir layar mencari tanda bahwa kita masih berarti bagi dunia yang sibuk.

Kita mungkin tidak bisa sepenuhnya lepas dari teknologi dan memang tidak harus. Namun, mungkin kita perlu menyadari cara kita menunggu. Bukan lagi menunggu bunyi dari luar, tapi menunggu kehadiran dari dalam dari diri sendiri yang utuh, tanpa perlu konfirmasi digital.Sebagaimana disarankan oleh penelitian Siburian & Ricky (2024), strategi digital mindfulness seperti mengatur waktu layar, mengurangi notifikasi non-esensial, dan meningkatkan aktivitas sosial nyata terbukti membantu menjaga keseimbangan mental remaja.Mungkin, yang perlu kita lakukan hanyalah satu hal sederhana menyambut keheningan, dan mendengar diri sendiri sebelum dunia kembali bergetar.


Referensi

[1] Fitri, N. K., Dewa, M. R. M., Seruni, J. C., & Muzammil, F. (2024). Pengembangan dan Validasi Perilaku Kecanduan Media Sosial Pada Remaja. INNOVATIVE: Journal of Social Science Research, 4(4), 6553–6563.

[2] Siburian, T. R. D., & Ricky, D. P. (2024). Hubungan Kecanduan Media Sosial dengan Kesehatan Mental Remaja di SMA Negeri 1 Parongpong. Kawanua Journal of Nursing, 6(1), 81–88.

[3] Suara.com. (2020, Mei 11). Cara mengubah suara notifikasi di Android. https://www.suara.com

💬Diskusi & Komentar

Tambah Komentar

Komentar (0)

💭

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama berkomentar pada artikel ini!